Saturday, June 24, 2017

apakah selain agama islam itu kafir

Tulisan ini terinspirasi oleh jawaban Ustaz Ahmad Sarwat terhadap pertanyaan Ida Bagus Nyoman Ari Sanjaya, sebagaimana yang dipostingkan dalam yahoo news.com online edisi 2 Agustus 2013 (http://id.berita.yahoo.com/pemahaman-kafir-dalam-islam-100322551.html).  Ustaz Ahmad memaparkan tiga kelompok orang yang disebut kafir dalam ajaran Islam. Pertama, mereka yang disebut oleh Quran sebagai Ahli Kitab, yaitu umat Yahudi dan Nasrani. Kedua, kelompok musyrik. Mereka inilah para penyembah berhala, api, matahari, dan sebagainya. Ketiga, kelompok munafik. Dari luar orang-orang ini tampak bagai muslim. Namun dalam hatinya, terdapat kekafiran. Dengan kekafiran inilah, kaum munafik harus terjerembab ke dalam kerak terdalam di neraka kelak. Berkaitan dengan point ketiga ini, Ustaz Ahmad menambahkan,  "Dengan demikian, sebutan kafir sebenarnya berlaku juga bagi orang muslim". Penjelasan Ustaz Ahmar ini sungguh mencerahkan banyak orang yang kurang memahami makna kafir dari perspektif Islam. Terima kasih untuk sang Ustaz tentunya. Akan tetapi ada beberapa pernyataan Sang Ustaz yang justru membingungkan dan mendorong untuk dipertanyakan. Beberapa pernyataan itu adalah: Harus kami tegaskan bahwa semua orang yang tidak memeluk Islam, dalam pandangan kitab suci Quran memang disebut kafir. Secara bahasa, kata ini bisa bermakna mengingkari, menolak, menentang atau menyangkal. Kafir secara bahasa bermakna mengingkari, menolak dan menyangkal. Ketika saudara-saudara nonmuslim menolak masuk Islam, mengingkari dan menyangkal kebenaran Islam, maka mereka kami sebut kafir. Kaum muslim sendiri, dalam sebuah ayat (QS Al Baqarah: 256), diperintahkan untuk beriman kepada Allah SWT dan mengingkari, menyangkal dan menolak taghut — yakni sesembahan selain Allah. Di satu sisi kami harus beriman kepada Allah SWT, dan di sisi lain kami juga harus menjadi kafir terhadap taghut. Bila kekafiran ini tidak dilaksanakan, ada potensi kami menuju kekafiran yang dimiliki oleh saudara-saudara nonmuslim. Ketiga pernyataan yang dikutip ini bersifat membingungkan dan mendorong untuk dipertanyakan. Kalau penekanannya pada makna kafir seperti 'mengingkari, menolak, menyangkal, dan menentang', pertanyaan yang sepontan muncul adalah: apakah semua orang nonmuslim (khususnya Yahudi dan Nasrani) menolak, menyangkal, dan menentang agama Islam? Tentu tidak. Buktinya ada keluarga yang anggotanya berbeda agama, yang tentunya tidak serta merta anggota keluarga yang Islam menganggap kafir anggota keluarganya sendiri yang berbeda agama. Selanjutnya, kalau penekanannya pada "saudara-saudara non-muslim menolak masuk Islam" sebagai tolok ukur kekafiran, pertanyaannya adalah: apakah Islam satu-satunya agama yang harus dianuti? Semua agama tentu baik dan benar. NKRI pun menjamin kebebasan warganya untuk beribadah menurut keyakinan dan agamanya masing-masing. Selain itu, kalau penekanannya pada "beriman kepada Allah SWT dan mengingkari, menyangkal, dan menolak taghut", pertanyaannya adalah: bukankah jemaat agama-agama lain pun mengimani Allah yang satu dan sama? Kalau demikian, apakah mereka masih pantas disebut kafir? Jika kafir atau kekafiran secara esensi bermakna menyangkal, menolak, dan tidak percaya Allah, maka agama-agama lain yang juga mengajarkan jemaatnya untuk percaya kepada Allah, tentu tidak dapat begitu saja dianggap atau dicap kafir. Hemat saya, entah Islam, entah Yahudi, entah Nasrani, dll sama-sama menyembah dan mengimani Sang Wujud Tertinggi yang disebut Allah. Inilah aspek lintas-agama yang semestinya dikedepankan; dan bukannya perbedaan.

Terima Kasih

Wednesday, September 28, 2016

Amalan Amalan Yang Harus Dilakukan Sebelum Tidur

1. Sebelum tidur Biasakan Berwudhu
Hendaknya tidur dalam keadaan sudah berwudhu, sebagaimana hadits: “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710)
2. Mengambil Posisi Berbaring Yang Tepat Hindari Tidur Tengkurap
Rasulullah menjelaskan posisi tidur yang tepat, “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710). Dalam riwayat lain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)
Rasulullah telah melarang tidur tengkurap. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)
3. Bersihkan Terlebih Dahulu Tempat Pembaringan Kita
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengibaskan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya…”. Pada hadist lain disebutkan kibasannya tiga kali (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Tidur Sesegera Mungkin Setelah Isya
Tentunya apabila setelah isya ada hal bermanfaat yang dibolehkan menurut syariat, boleh tetap menunda tidur agak malam. Akan tetapi ada hadist yang menyatakan bahwa “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘allaihi wasallam membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” [Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235)]
Hikmahnya tentu saja akan memudahkan kita bangun untuk qiyamul lail dengan izin Allah. Ketika kita tidur terlalu larut, maka akan membuat kita berat melakukan amal ketaatan ketika disepertiga malam akhir.
5. Membaca Dzikir Dzikir Sebelum Tidur
Ada banyak dzikir yang bisa diamalkan oleh seseorang sebelum berangkat tidur, salah satunya dzikir berikut:
اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيَ
إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا
مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ
Allahumma aslamtu nafsii ilaik, wa fawwadh-tu amrii ilaik, wa wajjahtu wajhiya ilaik, wa alja’tu zhohrii ilaik, rogh-batan wa rohbatan ilaik, laa malja-a wa laa manjaa minka illa ilaik. Aamantu bikitaabikalladzi anzalta wa bi nabiyyikalladzi arsalta.
Terjemahnya kurang lebih, “Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepadaMu, aku menyerahkan urusanku kepadaMu, aku menghadapkan wajahku kepadaMu, aku menyandarkan punggungku kepadaMu, karena senang (mendapatkan rahmatMu) dan takut pada (siksaanMu, bila melakukan kesalahan). Tidak ada tempat perlindungan dan penyelamatan dari (ancaman)Mu, kecuali kepadaMu. Aku beriman pada kitab yang telah Engkau turunkan, dan (kebenaran) NabiMu yang telah Engkau utus.” Apabila Engkau meninggal dunia (di waktu tidur), maka kamu akan meninggal dunia dengan memegang fitrah (agama Islam)”.
Faedahnya jelas, yaitu: Jika seseorang membaca dzikir di atas ketika hendak tidur lalu ia mati, maka ia mati di atas fithrah (mati di atas Islam). (HR. Al-Bukhari no. 6313 dan Muslim no. 2710.)
Bacaan dzikir lainnya yang bagus diamalkan sebelum tidur yaitu:
  • Membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas. Caranya, baca surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas satu kali lalu ditiupkan ke telapak tangan. Pergunakan telapak tangan tersebut guna mengusap seluruh tubuh dari wajah, tangan, kaki sampai area area yang bisa dijangkau. Selepas mengusap, baca lagi surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas lalu usapkan hingga total 3 x. (HR. Al-Bukhari no. 5017 dan Muslim no. 2192, Malik dalam al-Muwaththa’, Abu Dawud no. 3902, at-Tirmidzi no. 3402, Ibnu Majah no. 3529, dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 793).
  • Membaca Ayat Kursi alias Quran Surat Al Baqarah 255 sebanyak satu kali. (HR. Al-Bukhari no. 2311/ Fat-hul Baari V/487).
  • Dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh,berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Barangsiapa membaca dua ayat tersebut pada malam hari, maka dua ayat tersebut telah mencukupkan-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Surat Al Kafirun,berdasarkan sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sahabat Naufal untuk membaca surat Al Kafirun sebelum tidur (HR Abu Dawud, Ahmad, dan At Tirmidzi).
  • Surat Al Mulk dan As Sajdah, hal ini berdasarkan penjelasan sahabat Jabir bin Abdillah, beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur sampai beliau membaca alif lam mim tanzilus sajdah (surat As Sajdah) dan Tabarokalladzi biyadihil mulk (surat Al Mulk)” (HR Bukhari).
6. Shalat witir Jika Khawatir Tak Bisa Bangun Malam
Jika khawatir tidak bisa qiyamul lail / bangun malam, di sunnahkan pula shalat witir terlebih dulu sebelum tidur. Dalilnya dari Abu Hurairah berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى – صلى الله عليه وسلم – بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku tiga wasiat: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha, (3) mengerjakan witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1981)
7.Bacalah doa Sebelum tidur yang shahih dari Rasulullah
Satu hal yang paling utama, Baca doa sebelum tidur. Yang shahih ialah “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa“. Dalilnya, dari Hudzaifah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ « بِاسْمِكَ
اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا » . وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا ، وَإِلَيْهِ النُّشُورُ »
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau mengucapkan: ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan: “Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali).” (HR. Bukhari no. 6324)
Itulah beberapa amalan sebelum tidur menurut Islam sesuai sunnah Rasulullah. Sebenarnya ada banyak lagi amalan amalan yang bisa dirujuk ke kitab kitab ulama. Salah satu yang tak kalah penting misalnya dengan memperbanyak istighfar serta muhasabah diri. Kita tak pernah tahu bisa jadi itu tidur terakhir kita, kita butuh banyak ampunan dari Allah sebagai bekal mengadap-Nya.
- See more at: https://www.arrahmah.com/kajian-islam/amalan-sebelum-tidur-sesuai-sunnah-rasulullah.html#sthash.uqHuDnWb.dpuf

Wednesday, August 24, 2016

Amalan pemuda sehingga disebut ahli surga

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat.
Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum.
Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.


Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap,
"Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga."
Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan, di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.


Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana.
Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu.
Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.


Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap,
"Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga."
Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana.
Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?


Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa.
Bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga.
Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran.
Amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?


Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.


Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh.
Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih.
Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.


Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut.
Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.


Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama.
Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW.
Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu,
tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga.
Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu.


"Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga.
Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan.
Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak.
Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"


"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."


"Amalan apakah itu?"


"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain.
Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain.
Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku.
Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."


"Subhanallah...kemudian apa?"


"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan.
Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."


"Subhanallah...lalu kemudian?"


"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim.
Menjalin hubungan baik dengan siapapun.
Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."


"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga.
Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Ali R.a : SUARA KEADILAN SEJATI

Ali bin Abi Thalib as adalah manusia mulia dan mengagumkan. Keberaniannya tiada tandingan. Beliau sangat keras terhadap musuh, sebaliknya sangat menyayangi orang muslim serta mencintai kaum papa dan mustadhafin. Imam Ali juga sangat menyayangi anak yatim. Dengan tulus, beliau mencintai anak-anak yatim laksana anaknya sendiri.
Salah satu karakteristik terpenting Imam Ali as adalah komitmennya membentuk masyarakat yang berkeadilan. Kekhususan sifat mulia Ali ini membuat banyak orang terkagum-kagum. Bahkan ahli makrifat berharap terlahir lagi orang seperti Ali ke dunia ini. Dalam acara ini kami mengajak anda menyimak sifat mulia Ali dan komitmennya membentuk pemerintahan yang adil.
Pandangan Imam Ali terhadap pemerintahan sangat berbeda kontras dengan sikap para politisi yang haus kekuasaan. Metode politik dan pemerintahan Imam Ali berpijak pada prinsip-prinsip yang mendorong masyarakat yang mencapai kesempurnaan secara material dan spiritual. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.
Mengenai urgensi keadilan, Imam Ali as berkata, keadilan adalah salah satu prinsip yang harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau juga menuturkan, tidak ada yang menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurut Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip keimanan sendiri.
Imam Ali memegang tampuk kekuasaan untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan memenuhi hak mereka. Di mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak orang-orang yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya slogan belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Dengan kata lain, keadilan adalah inti politik Imam Ali.
Imam Ali mengubah sistem pemikiran dan budaya publik serta mereformasi struktur pemerintahan dan para pejabatnya dalam rangka mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Beliau menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan menghilangkan jurang sosial dan diskriminasi. Untuk menghilangkan diskriminasi, Ali menerapkan persamaan di berbagai bidang. Kepada para hakim, Imam Ali berkata, "Kalian berlaku adillah dalam memutuskan sebuah perkara. Perlakukan setiap orang sama di hadapan hukum, sehingga orang-orang terdekatmu tidak rakus dan musuh kalian tidak putus asa terhadap keadilanmu."
Salah satu karakteristik Imam Ali dalam menjalankan pemerintahan adalah melayani rakyat. Ali dalam suratnya kepada para pejabat di Azerbaijan menulis, "Jangan mengira aku menyerahkan pemerintahan ini kepada kalian. Ini bukan hidangan bagi kalian, tapi sebuah amanah yang berada di pundak kalian. Di atas itu semua, kalian harus memperhatikan dan menjaga hak rakyat. Untuk itu, kalian jangan otoriter dan jangan bersikap semau sendiri terhadap rakyat."
Dalam instruksinya kepada para petugas pajak, Imam Ali berkata, "Bersikaplah adil dan penuh pertimbangan. Kalian adalah para bendahara negara, wakil rakyat dan duta pemerintahan. Sepak terjang kalian jangan sampai seperti binatang buas yang memangsa apa saja. Karena rakyat adalah manusia juga seperti kalian, tidak ada bedanya apakah ia muslim ataupun non muslim."
Kebanyakan para pemimpin dan politisi dunia seringkali tidak pernah mengindahkan prinsip-prinsip moral dalam mengendalikan urusan pemerintahan. Mereka menggunakan segala cara dengan berbohong, menipu maupun cara lainnya untuk mencapai tujuan. Namun sebaliknya Imam Ali sangat memperhatikan prinsip moral dalam urusan pemerintahannya. Beliau tidak pernah melepaskan prinsip-prinsip moral itu. Imam Ali tidak pernah berpikir untuk melakukan penyelewengan, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Beliau bersikap jujur dan menjauhi segala bentuk penipuan terhadap masyarakat awam.
Sikap terpuji Imam Ali lainnya adalah hidup sederhana dan tawadhu. Mengenai kehidupannya, Ali menuturkan sendiri, "Janganlah kalian bersikap denganku seperti menghadapi raja-raja yang angkuh...,jangan mengira aku sulit menerima kebenaran yang kalian ucapkan."
Mengenai keutamaan Imam Ali ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Tidak ada pemimpin yang semulia Ali. Ia tidak berani berbohong bahkan untuk kemaslahatan sekalipun demi meraih kekhilafahan maupun menarik simpati para penentangnya."
Walaupun Imam Ali memimpin pemerintahan Islam yang terbentang luas, namun dari sisi individu dan sosial ia tidak meyakini keistimewaan bagi dirinya sendiri. Beliau hidup seperti rakyat jelata.
Imam Ali dalam suratnya yang dilayangkan kepada Utsman bin Hanif menulis, "Sadarlah pemimpin kamu di dunia ini hanya memiliki dua stel pakaian dan makan dua potong roti... Jika kami menginginkan, kami bisa mengkonsumsi madu dan sari gandum serta mengenakan pakaian sutra. Tapi aku tidak ingin hawa nafsu menguasaiku."

Ali senantiasa berdiri di atas kebenaran, sebagaimana sabda Rasulullah Saw mengenai Ali, "Kebenaran berada pihak Ali kemanapun ia mengarah."
Sifat mulia Ali yang menjunjung tinggi kebenaran menyebabkan harta yang telah dicuri dari Baitul Mal bisa kembali lagi. Beliau mencopot para pemimpin korup pemerintahan sebelumnya yang masih menjabat pada periode beliau.
Imam as memulai kepemimpinannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Beliau pun berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan hak-hak manusia. kepada pegawainya beliau menginstruksikan untuk menciptakan iklim bebas di tengah masyarakat, mendengar pandangan mereka dan menyiapkan sarana untuk mewujudkan hak-haknya.
Dalam surat yang disampaikan kepada Malik Ashtar, Imam Ali berpesan,
"Wahai Malik, pergunakan sebagian waktumu khusus untuk melayani orang-orang yang membutuhkanmu. Sediakan waktu untuk pekerjaan mereka dan duduklah pada pertemuan-pertemuan umum. Bersikaplah tawadhu dalam pertemuan itu. Jauhkanlah pengawalmu dari mereka, sehingga rakyat dengan bebas dan tanpa kekhawatiran sedikitpun berbicara denganmu."
Bagi Ali, mewujudkan saling percaya di tengah masyarakat dan menciptakan keamanan di mana-mana merupakan prioritas pemerintahannya. Keamanan individu dan sosial merupakan prioritas negara. Dalam pandangan beliau manusia harus dilatih untuk tidak berbuat zalim dan dizalimi.
Dalam pandangan Imam Ali, memberangus kezaliman adalah hak seluruh bangsa di dunia, dan pemimpin adalah orang yang harus mengupayakan hilangnya kezaliman dalam pemerintahannya. Terkait hal ini, Imam Ali menilai orang yang memimpin masyarakat adalah orang yang bisa mewujudkan keadilan dan memerangi segala bentuk ketidakadilan. Beliau berkata, potonglah tangan para penguasa zalim.
Kami akan mengakhiri sajian acara ini dengan mengutip perkataan pemikir kristen George Jordac. Ketika menjelaskan keindahan Ali, Jordac dalam bukunya The Voice of Human Justice menulis, "Di alam ini setiap lautan memiliki gelombang yang mengguncang. Namun aku tidak mengenal samudera yang terhampar luas dan agung sebagaimana samudera keutamaan Ali. Tidak ada yang tidak terguncang kecuali dua jenis manusia; orang yang terzalimi, dan orang yang takut kepada Allah di kegelapan malam

Sayyidina Ali

Ali bin Abi Talib

Beliau adalah seorang sahabat merangkap sepupu dan menantu kepada Rasulullah SAW. Ali bin Abi Talib terkenal di dalam sejarah Islam sebagai seorang yang fasih berbicara, soleh, adil, bersih jiwa serta seorang yang berpengetahuan luas berbanding sahabat-sahabat yang lain. Ini adalah kerana Rasulullah pernah tinggal bersama-sama ayahandanya, Abu Talib yang juga bapa saudara Nabi sendiri selepas kematian Abdul Mutalib, datuk Rasulullah dan Ali. Sebagai membalas jasa Ali dipelihara dan dididik oleh Nabi sendiri pula selepas Abu Talib meninggal dunia. Di masa Muhammad diutus menjadi rasul Ali adalah orang yang pertama mengimani baginda sedangkan pada masa itu ia masih kecil. Ali menjadi menantu Nabi setelah berkahwin dengan puteri Rasulullah Fatimah az-Zahrah. Daripada perkahwinan Fatimah dengan Ali ini sahajalah Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.
Sejak kecil Ali dididik dengan budi pekerti mulia. Pengetahuannya juga amat luas kerana sering berdampingan dengan Nabi. Oleh itu, beliau termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadis daripada Rasulullah. Hampir setiap peperangan yang berlaku di zaman Rasulullah disertai oleh Ali malah beliau menjadi pemimpin di barisan hadapan. Keberanian beliau terus dibuktikan pada malam penghijrahan Rasulullah ke Madinah di mana Ali dengan rela hati menggantikan Nabi di tempat tidurnya. Keberanian dan kerelaan ini adalah terhasil daripada keimanan yang tinggi dan tidak berbelah bagi.Sayidina Ali Karamallahuwajhah mungkin seorang yang tidak bernasib baik sebagai pemimpin. Kalau diikutkan giliran sememangnya Alilah yang paling layak di dalam senarai menunggu selepas Umar dan Abu Bakar, tetapi suasana selepas pembunuhan Uthman bin Affan telah menjadikan situasi jauh berbeza. Golongan orang ramai yang kecewa dengan pemerintahan Uthman memberikan bai’ah sepenuhnya untuk jawatan khalifah kepada Ali, tetapi di satu pihak yang lain Ali tidak disenangi oleh puak Muawiyah yang menjatuhkan Uthman dan bercita-cita untuk duduk di kerusi khalifah. Mereka ini terdiri daripada golongan yang sudah biasa dibuai kemewahan dan terlibat di dalam banyak penyelewengan sewaktu pemerintahan Uthman bin Affan. Sudah pastilah Ali yang tegas dan berdisiplin akan membanteras segala perkara ini.

Perasaan tidak puas hati ini telah menjerumuskan kaum Muslimin yang terdiri daripada pengikut Ali dan Muawiyah ke dalam kancah peperangan saudara. Turut menyedihkan ialah penglibatan Ummul Mukminin Aisyah di dalam peperangan menentang menentunya sendiri Ali dengan berpihak kepada Abdullah bin Zubair bin Awwam atas alasan membalas dendam kematian Uthman. Pelbagai spekulasi sejarah timbul berhubung kes ini. Abdullah juga difahamkan ingin menduduki kerusi khalifah juga kerana telah menjadi anak angkat Aisyah. Peperangan ini terkenal sebagai Peperangan Jamal (Unta) lantaran Aisyah yang mengenderai unta. Walau bagaimanapun atas tipu daya Muawiyah bin Abi Sufian, majlis Tahkim telah menyaksikan perlucutan jawatan Ali dan menguntungkan Muawiyah di satu pihak lain yang sengaja dirancang. Peristiwa ini menyebabkan puak Khawarij mengambil tindakan untuk membunuh ketiga-tiga pemuka yang terlibat dalam peperangan ini iaitu Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abi Sufian dan ‘Amru bin al-‘As. Dalam komplot tiga serangkai ini Muawiyah dan Amru terselamat tetapi Sayidina Ali telah menemui ajal di tangan Abdul Rahman bin Muljam di Kufah. Dengan itu Ali telah wafat pada tahun 40H/661M dan berakhirlah era pemerintahan Khulafa al-Rasyidin yang penuh cabaran dan sejarah.

KHALIFAH ALI BIN ABI TALIB
• Nama sebenar; ali bin abi talib bin abdul mutallib bin hasyim
• Dilahirkan pada tahun ke-10 sebelum kerasulan nabi muhammad
• Merupakan kanak-kanak pertama memeluk islam
• Didoakan dengan " karramallahu wajhah " yang bermaksud orang yang dimuliakan wajahnya oleh Allah kerana tidak pernah menyembah berhala

PERLANTIKAN KHALIFAH ALI BIN ABI TALIB
• Selepas pembunuhan usman bin affan negara islam menjadi kucar kacir dan tidak stabil
• Puak-puak pemberontak telah meminta ali untuk mengambil alih jawatan khalifah
• Ali enggan pada mulanya untuk menerima jawatan tersebut tetapi menerimnya setelah melihat negara islam dalam keadaan yang kucar-kacir
• Orang ramai telah memberi baiah kepada ali kecuali puak-puak umaiyah yang diketuai oleh muawiyah bin abi sufyan
SUMBANGAN DAN JASA KHULAFAK AR-RASYIDIN

KHALIFAH ALI BIN ABI TALIB
• Menerima jawatan khalifah ketika negara dalam keadaan tidak tenteram

Sayidina Ali bin Abi Talib Menjadi Khalifah (Pada Tahun 35 Hijrah)

Selepas peristiwa pembunuhan Khalifah Othman bin Affan RA, Sayidina Ali bin Abi Talib memegang teraju pemerintahan. Beliau mendapat baiah dari sebahagian besar

dari kalangan para sahabat, terutamanya Talhah, Az-Zubair bin Al-Awwam, Muhajirin dan Ansar. Peribadi Ali bin Abi Talib menghimpunkan pelbagai kelebihan iaitu sebagai sepupu Nabi SAW, menantu baginda dan orang yang pertama memeluk Islam selepas Khadijah. 

Beliau dilahirkan di Mekah pada tahun 23 sebelum Hijrah. Beliau dididik dan dibesarkan di dalam pangkuan Nabi SAW malah tidak pernah berpisah dengannya. Beliau adalah merupakan salah seorang pahlawan Islam yang terkemuka di mana panji peperangan berada di tangan beliau di dalam sebahagian besar peperangan dan beliau adalah salah seorang daripada sepuluh orang para sahabat yang dijanjikan syurga.

Berdasarkan faktor-faktor tersebutlah, beliau dipilih oleh umat Islam supaya menjadi khalifah dan pemimpin umat Islam selepas Sayidina Othman bin Affan RA mati syahid. Peristiwa tersebut berlaku pada tarikh 24 Zulhijah tahun 35 Hijrah.

Dengan demikian Sayidina Ali bin Abi Talib adalah merupakan khalifah pertama bagi umat Islam yang berasal dari keluarga Bani Hasyim yang juga menjadi nasab keturunan Rasulullah SAW.


PEMERINTAHAN:

Selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW. pada tahun 632 masihi, Saidina Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pertama umat Islam. Adalah dikatakan bahawa Saidina Ali hanya menerima Saidina Abu Bakar enam bulan selepas Saidina Abu Bakar dilantik. Hal ini masih samar-samar.

Golongan Syiah percaya memandangkan Saidina Ali merupakan menantu dan sepupu kepada Rasulullah SAW. maka beliaulah yang seharusnya dilantik menjadi khalifah. Ahli Sunah Waljamaah pula percaya perlantikan Saidina Abu Bakar merupakan sesuatu yang tepat sekali.

Karamallahuwajha menjadi khalifah ke-4Pada tahun 656 masihi, khalifah ketiga Islam iaitu Saidina Uthman Affan wafat kerana dibunuh di dalam rumahnya sendiri. Segelintir masyarakat kemudiannya mencadangkan Saidina Ali supaya menjadi khalifah tetapi Saidina Ali menolak. Tetapi selepas didesak oleh pengikutnya, beliau akhirnya menerima untuk menjadi khalifah. Perkara pertama beliau lakukan selepas dilantik menjadi khalifah ialah dengan menghapuskan pemberontakan yang ketuai oleh isteri Rasulullah iaitu Ummul Mukminin Saidatina Aisyah, dan dua orang sahabat Nabi iaitu Talhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam. Pemberontakan itu berjaya ditumpaskan oleh Saidina Ali dalam Perang Jamal (juga dikenali sebagai Perang Unta). Dalam peperangan ini, Talhah dan Zubair terkorban manakala Saidatina Aisyah kembali ke Madinah. Selepas itu, Saidina Ali melantik gabenor-gabenor baru bagi menggantikan pentadbir-pentadbir yang dilantik oleh Saidina Uthman. Saidina Ali memindahkan pusat pentadbiran Islam daripada Madinah ke Kufah,
Iraq. Kota Damsyik, Syria pula ditadbir oleh Muawiyah, Gabebor Syria dan saudara Saidina Uthman. Muawiyah telah dilantik sebagai Gabenor pada masa pemerintahan Saidina Umar lagi.

Muawiyah, yang menyimpan cita-cita politik yang besar, berpendapat bahawa siasatan berkenaan dengan pembunuhan Saidina Uthman adalah merupakan keutamaan bagi negara ketika itu dan beliau ingin mengetahui siapakah pembunuh Saidina Uthman dan pembunuh tersebut mestilah dihukum qisas. Bagi Saidina Ali, beliau berpendapat keadaan dalam negara hendaklah diamankan terlebih dahulu dengan seluruh penduduk berbaiah kepadanya sebelum beliau menyiasat kes pembunuhan Saidina Uthman. Muawiyah kemudiannnya menyatakan rasa kesal dengan kelambatan Saidina Ali menyiasat kematian Saidina Uthman, lalu melancarkan serangan ke atas Saidina Ali. Akhirnya terjadilah Perang Siffin di antara Muawiyah dan Saidina Ali. Di dalam peperangan ini antara para sahabat yang terlibat adalah Amru Al-Ash, Ammar ibn Yasir, Abdullah ibn Amru Al Ash, Abdullah ibn Abbas.

Ada di antara para sahabat bersikap berkecuali di dalam hal ini. Antaranya adalah Abdullah ibn Umar, Muhammad ibn Maslamah, Sa'ad ibn Abi Waqqas, Usamah ibn Zaid. (http://ms. wikipedia. org/wiki/Saidina_Ali_Abi_Talib#Pentadbiran_Saidina_Ali)

Perang Siffin

Perang Siffin merupakan pemberontakan yang diketuai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan ke atas Ali bin Abi Talib.

Setelah Perang Jamal berakhir, Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib menghantar utusan kepada Muawiyah meminta beliau berbai`ah kepada dirinya. Muawiyah menolak, sebaliknya mengulangi tuntutannya agar Amirul Mukminin Ali mengambil tindakan ke atas para pembunuh Usman. Jika tidak, Muawiyah sendiri yang akan mengambil tindakan. Mendengar jawapan yang sedemikian, Amirul Mukminin Ali menyiapkan pasukannya dan mula bergerak ke arah Syam. Senario ini menyebabkan Muawiyah juga mempersiapkan pasukannya dan mula bergerak ke arah Kufah. Akhirnya kedua-dua pasukan ini bertemu di satu tempat yang bernama Siffin dan bermulalah peperangan yang dikenali dengan Perang Siffin.

Walau bagaimanapun, para pengkaji berbeza pendapat, kenapakah Amirul Mukminin Ali mempersiapkan pasukannya ke arah Syam? Persoalan ini masih memerlukan penelitian yang mendalam dengan mengambil kira faktor-faktor luaran dan dalaman yang wujud pada ketika itu. Hal ini demikian kerana Amirul Mukminin Ali tidak akan mengambil apa-apa tindakan melainkan ia adalah untuk kemaslahatan umat Islam seluruhnya.

Satu peristiwa menarik mengenai peperangan ini adalah walaupun tentera Ali bin Abi Talib hampir mencapai kemenangan, tetapi oleh sebab pihak lawan mengangkat al-Quran, beliau menghentikan peperangan tersebut dan memulakan proses perundingan.

Terdapat juga peristiwa menarik di mana adanya tanda-tanda pencerobohan yang ingin dilakukan oleh tentera luar yang datang dari Constantinople, Muawiyah memberi amaran kepada pihak berkuasa Rom Byzantine agar menarik balik bala tenteranya atau beliau dan Amirul Mukminin Ali akan berdamai dan bergabung untuk memerangi bala tentera Rom Byzantine.

Proses rundingan berlangsung di mana pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asya'ari & di pihak Muawiyah pula diwakili oleh Amru Al-Ash

Diambil daripada "http://ms. wikipedia. org/wiki/Perang_Siffin"

Perang Jamal

Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

Perang Jamal atau Perang Unta berlaku pada 11 Jamadilakhir 36H atau Disember 657M yang mengambil masa tidak sampai sehari. Kemenangan berpihak kepada Khalifah Ali. Peperangan tersebut berlaku Ali menggantikan semua pegawai kerajaan yang merupakan keluarga Uthman bin Affan iaitu Bani Umaiyyah kepada mereka yang cekap dan adil. Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang diskriminatif dan memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya diberikan kepada orang-orang Muhajirin dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul mal. Disamping itu, pihak keluarga Bani Umaiyyah menggunakan alasan kemangkatan Khalifah Uthman sebagai alasan untuk menentang pemerintahan Ali.

Hal tersebut mendapat tentangan dari orang yang selama bertahun-tahun menikmati keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan untuk melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil mngumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Mendengar adanya pemberontakan itu, Ali turut mengerahkan pasukannya. Kedua pasukan saling berhadapan. Ali terus berusaha membujuk Thalhah dan Zubair agar mengurungkan rencana berperang. Beliau mengingatkan keduanya akan hari-hari manis saat bersama Rasulullah SAW dan berperang melawan pasukan kafir.

Walaupun ada riwayat yang menyebutkan bahawa imbauan Ali itu tidak berhasil menyedarkan kedua sahabat Nabi itu, tetapi sebahagian sejarawan menceritakan bahawa ketika Thalhah dan Zubair mendengar teguran Ali, bergegas meninggalkan medan perang.

Perang tak dapat dihindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya kerana ketidakpuasan hati sebahagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Ali. Pasukan Ali berhasil mengalahkan pasukan yang dikepalai Aisyah, yang ketika itu menunggang unta. Perang Jamal atau Perang Unta berakhir setelah unta yang dinaiki oleh Aisyah tertusuk tombak dan jatuh terkapar. Sebagai khalifah yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan dikawal oleh sepasukan wanita bersenjata lengkap. Fitnah pertama yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali berjaya dipadamkan. Namun masih ada kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai poros kebenaran.

JASA DAN PENGORBANAN:

Perang Badar

Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

Perang Badar , dijuang 17 Mac 624 M (17 Ramadhan 2 H dalam takwim Islam) di Hijaz dari barat Semenanjung Arab (Arab Saudi masa-kini), merupakan pertempuran penting dalam zaman awal Islam dan merupakan pemusingan dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW. dengan pihak lawannya di kalangan Quraisy di Makkah. Pertempuran ini telah diteruskan dalam Sejarah Islam sebagai kemenangan muktamad disebabkan campur tangan Ketuhanan atau kepintaran Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia salah satu dari sedikit pertempuran yang disebut khusus dalam kitab suci Islam, Al-Qur'an, hampir kesemua pengetahuan kontemporari dari perang di Badar berasal dari keterangan tradisional Islam, kedua-dua hadis dan biografi Nabi Muhammad SAW. , ditulis berdekad selepas pertempuran tersebut. Sebelum pertempuran tersebut, Muslim dan Mekkan telah berjuangkan beberapa pertempuran kecil pada lewat 623 dan awal 624, laksana ghazawāt Muslim telah menjadi lebih kerap. Badar, bagaimanapun merupakan penglibatan skala-besar pertama antara du
a pihak. Bermara kepada posisi bertahan, sahabat Nabi Muhammad SAW. yang berdisiplin dengan baik berjaya memecahkan barisan puak Makkah, membunuh beberapa ketua Quraisy termasuklah antagonis utama Nabi Muhammad SAW. , 'Amr ibn Hisham. Untuk Muslim awal, pertempuran ini amat penting kerana ia merupakan tanda pertama bahawa mereka mungkin akhirnya mengalahkan musuh mereka di Makkah. Makkah pada masa itu merupakan salah satu dari kota Jahiliyah yang paling kaya dan paling berkuasa di Semenanjung Arab, yang menghantar sepasukan tentera tiga kali lebih besar dari pihak Muslimin. Kemenangan Muslim juga mengisyaratkan suku lain bahawa kuasa baru telah bangkit di Semenanjung Arab dan menguatkan kuasa Nabi Muhammad SAW. sebagai ketua dari yang kerapkali dengan komuniti mudah berpecah di Madinah. Suku Arab tempatan mula memeluk Islam dan berpakat diri mereka dengan Muslim dari Madinah; demikian, perkembangan Islam bermula


Biodata
Nama sebenar beliau adalah Ali bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Beliau dilahirkan pada tahun 602 masihi atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Beliau telah dilahirkan di dalam Khabah. Usia beliau adalah 32 tahun lebih muda daripada Rasullulah SAW. Beliau diberi gelaran ‘haidarah’ oleh ibunya iaitu Fathimah bt Asad bin Hasyim. Beliau adalah daripada keturunan Bani Hasyim yg sejati. Saidina Ali merupakan kanak-kanak pertama yang memeluk Islam. Beliau telah diambil oleh Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai anak angkat. Beliau telah dididik di rumah rasullulah dan ini menyebabkan beliau mempunyai jiwa yang bersih dan tidak dikotori dengan naluri jahiliyah. Beliau telah dilantik menjadi khalifah yang ke-4 pada tahun 656 masihi. Saidina Ali bin Abu Talib telah berkhawin dengan Fatimah bt Rasulullah. Beliau tidak berkahwin dengan orang lain sepanjang hidup beliau melainkan dengan Fatimah seorang sahaja. Setelah Fatimah meninggal barulah berkahwin dengan 9 orang perempuan lain. Isteri-isteri beliau itu beliau tidak mengahwini mereka dalam satu masa melainkan setelah meninggal salah seorang kerana Islam memetapkan bahawa seorang lelaki tidak boleh berkahwin melebihi 4 orang dalam satu masa. Saidina Ali sentiasa menyokong Nabi Muhammad SAW. semasa kezaliman terhadap orang Muslim berlaku. Pada tahun 622 masihi, semasa peristiwa hijrah berlaku, Saidina Ali mengambil risiko dengan tidur di katil Rasulullah SAW. lantas berjaya mengelakkan satu percubaan membunuh.

Semasa berlakunya Perang Badar, Saidina Ali menumpaskan seorang jaguh Quraish iaitu Walid ibni Utba di samping askar-askar Makkah yang lain. Selepas itu beliau mengahwini Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah SAW.

Sepanjang sepuluh tahun Nabi Muhammad SAW. mengetuai penduduk Madinah, Saidina Ali senantiasa menolong dan membantu baginda demi kemajuan umat Islam.

KEPERIBADIAN

BIJAKSANA

Saidina Ali bin Abu Tailb adalah seorang berpandangan jauh dan berfikiran dalam. Kebolehan ini banyak membantunya dalam menjalinkan persahabatan, beinteraksi dalam majlis-majlis mesyuarat dan menyelesaikan masalah yang rumit. Ternyata beliau adalah seorang sahabat Rasullulah s. a. yang berfikiran luas dan cerdas dalam menghadapi sesuatu keadaan. Beliau begitu cekap dalam mengemukakan pendapatnya terhadap kes-kes yang tertentu di samping berupaya mengeluarkan sebarang hukum bagi sesuatu masalah. Tidak hairanlah jika beliau dianggap sebagai sumber rujukan uluma-ulama besar dan para hakim. Beliau telah mengeluarkan hukum berkaitan dengan pewarisan harta di antara suami dan isteri, pewarisan bagi kunsa, dan zina orang gila.

ZUHUD

Saidina Ali merupakan seorang yang bersifat zuhud kerana beliau sentiasa mengingati para pengikutnya supaya mencari keredhaan Allah dan tidak melakukan dosa. Beliau sentiasa menasihati pengikutnya supaya tidak hanya mementingkan dunia semata-mata sebaliknya mengejar akhirat yang abadi.

ADIL

Saidina Ali merupakan seorang yang sangat adil. Ini dapat dibuktikan apabila beliau sentiasa memastikan harta negara dibahagikan sama rata kepada semua rakyat yang miskin. Dari semua yang diperkatakan di atas jelaslah menunjukkan bahawa Ali bin Abu Talib adalah seorang yang adil dalam politiknya.

Amalan sayyidina Ali.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib merupakan sepupu sekaligus sahabat utama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau merupakan orang yang pertama masuk Islam dari golongan anak-anak. Dalam perjalanan hidupnya, sayyidina Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai salah satu menantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah beliau menolak pinangan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma kepada Fathimah binti Muhammad.
Ali bin Abi Thalib terkenal dengan keberanian dan kecerdasannya. ‘Kunci Ilmu’ disematkan kepadanya untuk ‘Gudang Ilmu’ yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maknanya, tiada satu pun ilmu yang berasal dari Nabi Shalllalahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali diketahui tafsir dan pembahasannya oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
Sebagai bukti atas keberaniannya, anak Abu Thalib ini terpilih sebagai sosok pengganti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam peristiwa hijrah Nabi ke Madinah al-Munawwarah. Ia diperintah untuk tidur di tempat tidur nabi dengan mengenakan selimut manusia paling mulia ini. Bukan main-main, nyawa menjadi taruhannya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga terdepan dalam jihad. Beliau merupakan salah satu panglima yang digentari oleh lawan. Dalam banyak perang tanding melawan musuh-musuh Allah Ta’ala, suami Fathimah binti Muhammad ini sering kali memenangkan duel. Mengagumkan.
Saat terpilih menjadi Khalifah keempat menggantikan sayyidina Utsman bin Affan Radhiyalahu ‘anhu, kaum Muslimin tengah dilanda fitnah, ujian yang besar. Sampai akhirnya, sayyidina Ali bin Abi Thalib menghadap Allah Ta’ala sebagai syuhada lantaran tikaman musuh-Nya.
Sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lain, ada begitu banyak kalimat bijak yang lahir dari sayyidina Ali bin Abi Thalib. Salah satunya adalah kalimat yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari ini. Dalam taujihnya ini, ada satu amalan kecil yang lebih disukai oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib daripada membebaskan seorang budak. Padahal, membebaskan budak merupakan salah satu amalan agung dalam Islam yang mulia, pahalanya banyak dan berlimpah.
“Mengumpulkan saudara-saudaraku atas satu atau dua piring hidangan untuk memakannya lebih aku sukai daripada pergi ke pasar, lalu memerdekakan hamba sahaya.”
Semoga Allah Ta’ala meridhai sayyidina Ali bin Abi Thalib. Aamiin.

Maraknya kriminalitas (fitnah) di kalangan masyarakat

Bismillahirrahmanirrahim.. 
Allahumashalliala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.

Terima kasih kepada Allah yang telah memberikan saya nikmat yang sangat banyak. Syukranlillah Syukranlillah Syukranlillah..

Pertama2 marilah kita sampaikan salam kita kepada junjungan besar nabi muhammad yang telah menyempurnakan ahklak di dunia ini, Marilah kita bersama berdoa untuk keselamatan umat muslim di dunia ini. Al-fathihah.
Bismillahirrahmanirrahim, Adrikni ya Allah, Adrikni ya Mustafa ya Muhammad SAWW. Adrikni ya Haidarullah ya amiral mukminin ya ababal hasananin ya Ali, Adrikni ya Al mujtaba ya abu muhammad ya hassan ibn Ali. Adrikni ya Abu Abdillah ya Sayyid al-Shuhada fi karbala, Ya Hussain. Adrikni ya As-Sajjad ababal Muhammad, Ya Ali Zayn al Abidin. Adrikni Ya Al baqirul Ulum ya abu ja'far Ya muhammad Baqir, Adrikni ya Ash-shadiq ya abu abdillah, Ya ja'far Shadiq. Adrikni ya abu hasan, Ya Musa Alkadzim
Adrikni ya Ar-ridha Abu Al-hassan. Ya Ali Arridha. Adrikni ya ababal ja'far ya at-taqi aljawad ya Muhammad Al Jawad. Adrikni ya Abu al hassann ya al hadi al naqi adrikni ya Ali al Hadi. Adrikni ya Abu Muhammad Al-asykari, Ya Hasan Alaskari, Adrikni Ya Al-mahdi Alhujjah Abu alqassim ya abbal ghaib, Ya Muhammad Al Mahdi.

Di zaman modern ini kita sering melihat tindakan kriminal yang dapat merusak generasi generasi bangsa, oleh karena itu kita sebagai orang yang ber-ilmu harus menghentikan ini semua

Kejahatan akan selalu ada, bukan karena banyaknya orang2 jahat, melainkan diamnya orang2 baik - Sayyidina Ali R.a

Lalu, apa yang dilakukan Nabi saw mengatasi fitnah ini? Lembaran sejarah mengajarkan kepada kita, bagaimana beliau memberantas fenomena ini sampai akarnya. Sebuah sikap yang sangat perlu diteladani oleh qiyadah dalam memberikan terapi atas peristiwa semacam ini.
Pertama, melakukan konfirmasi dan klarifikasi. Ini yang kita saksikan melalui beberapa pertanyaan yang diajukan Rasulullah saw, kepada  Zaid sebelum memutuskan kebenaran laporannya. Nabi saw sendiri melakukan hal itu. Qiyadah mana pun seharusnya melakukan klarifikasi sebelum mengeluarkan keputusan.
Jamaah yang tidak menghargai anggotanya takkan mendapatkan manfaat darinya di kala mengalami cobaan. Saat ini setelah era Rasulullah saw, kepada kita tidak diturunkan wahyu yang dapat mengabsahkan kejadian atau mementahkannya. Untuk itu, ada data-data dimana Islam telah menetapkan syarat-syaratnya, di antaranya adanya kesaksian  dan keadilan atau data-data yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan modern, berupa alat perekam atau foto yang merekam data-data pendukung, yang dapat membantu keluasan dan kebenaran penyidik.
Kedua, dalam menanggulangi merebaknya fitnah ini, Rasulullah saw pergi di waktu yang tidak biasanya sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirah, “Rasulullah saw pergi bersama beberapa orang shahabat pada siang itu hingga sore, dilanjutkan malam itu hingga pagi harinya, kemudian di hari berikutnya hingga mereka disengat matahari. Kemudian beliau berhenti di suatu tempat bersama para shahabat hingga mereka mengantuk dan tertidur. Rasulullah saw melakukan semua itu agar mereka dapat melupakan pembicaraan seputar kejadian sebelumnya.
Tahapan berikutnya adalah menyibukkan orang-orang dari membicarakan fitnah itu. Sebab, masyarakat yang tidak sibuk, biasanya tak ada yang mereka bicarakan selain fitnah dan gosip. Qiyadah yang bijak dapat mengisi waktu kosong para pemudanya dengan sesuatu yang produktif atau dengan latihan kecakapan yang sesuai bagi mereka atau jihad langsung melawan musuh dimana tenaga dan kekuatan mereka bisa manfaatkan, dan mengalihkan mereka dari kasak-kusuk dan berbagai pertanyaan. Atau menghindarkan mereka dari reaksi positif maupun negatif terhadap kebohongan semacam ini. Kalau hari ini, pergaulan umat Islam dipenuhi fitnah dan gosip, itu lantaran banyaknya pengangguran di kalangan kaum Muslimin. Kalau mereka sibuk, takkan terjadi fitnah, atau fitnah takkan menyebar pesat.
Ketiga, mengemukakan pendapat kepada orang-orang dekat. Beliau melakukan pembicaraan itu kepada anggota inti pasukan. Tidak kepada semua orang. Beliau melakukan terapi dengan penuh kebijakan. Jika hal ini dicerna secara baik oleh jamaah Islam, pasti ia dapat menghindari banyak fitnah. Hendaknya masalah ketakutan hanya tersebar di kalangan tertentu dan tidak kepada semua orang.
Berbeda dengan orang-orang munafik. Mereka biasa menyebarkan desas-desus dan menikmati rasa takut itu. Hal ini sebagaimana digambarkan Allah dengan firman-Nya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan  lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS an-Nisa’ (4) : 83).